KATA miris rasanya tak lagi cukup untuk mengungkapkan perasaan kita
atas meninggalnya dua pelajar di Jakarta terkait dengan tawuran. Entah
perasaan apa yang bisa secara utuh mengekspresikan kegelisahan,
kegundahan, kesedihan, sekaligus kemarahan publik terhadap perilaku
siswa yang terlibat tawuran itu.
Demikian pula akal sehat dan logika manusia tak bisa menjangkau untuk
memahami tawuran antarmahasiswa di beberapa kampus di Makassar.
Bagaimana mungkin mereka yang tergolong kelompok eksklusif secara
intelektual, menunjukkan perilaku yang jauh dari akal sehat.
Eskalasi fenomena tawuran, baik antarsiswa maupun antarmahasiswa,
membuat kita cemas dan khawatir. Tidak hanya itu tapi juga nasib bangsa
ini sungguh mengkhawatirkan jika generasi penerus bangsa, memiliki
perilaku yang sangat jauh dari manusiawi. Rentetan kejadian itu tidak
bisa dipandang sepele.
Permasalahan tawuran tidak dapat diselesaikan secara parsial.
Mungkinkah kejadian itu dapat menjadi momentum bagi seluruh pemangku
kebijakan dan pelaku dunia pendidikan untuk mereposisi konsep
pendidikan?
Jika mau merefleksikan, tawuran di kalangan peserta didik merupakan
pengingkaran terhadap hakikat pendidikan. Niccolo Machiavelli menyatakan
bahwa manusia membutuhkan pendidikan karena secara kodrati mereka
diciptakan dalam keadaan kurang sempurna dalam berbagai dimensi (Doni
Koesoema, 2010).
Karenanya, manusia harus menjalani pendidikan guna melengkapi
kekurangan itu. Dengan demikian, pendidikan merupakan proses yang
membantu, menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, sekaligus membuat
yang semula tidak tertata atau liar menjadi lebih tertata. Pendidikan
adalah penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam
diri orang lain.
Jika mengacu pada pendapat Machiavelli maka fenomena tawuran di dunia
pendidikan adalah pengingkaran sekaligus perlawanan terhadap hakikat
pendidikan. Realitasnya adalah pendidikan, meskipun tidak semua, justru
menciptakan ketidakteraturan, keliaran, dan perilaku yang jauh dari
kemanusiaan.
Tentu saja hal ini akibat kesalahan-kesalahan hakiki yang terjadi
dalam pengelolaan pendidikan di negeri ini. Sebelum menjadi makin
terpuruk dalam penyimpangan, seluruh pemangku kepentingan dalam
pendidikan hendaknya mau instropeksi dan merefleksi mengapa ini semua
terjadi. Bagaimana sebaiknya menyelamatkan dunia pendidikan negeri ini?
Pendidikan seharusnya menjadi media intervensi bagi pengembangan
berbagai macam potensi dalam diri manusia, baik itu potensi akademik
intelektual maupun bakat seni, olahraga, dan lainnya. Namun kebijakan UN
telah ''membunuh'' anak-anak yang bertalenta dalam bidang seni,
keterampilan fisik, ataupun olahraga.
Mereka dicap gagal dan bodoh jika tidak mampu melewati standar
kelulusan dalam beberapa mata pelajaran, meskipun dalam bidang seni atau
olahraga, mereka memiliki kemampuan yang sangat hebat. Keadaan itu bisa
membuat sebagian siswa frustrasi dan melampiaskan dalam berbagai bentuk
yang tidak tepat.
Guru hanya mengejar ''setoran'' materi yang harus diselesaikan demi
ujian nasional. Guru tak memiliki kesempatan mengajak siswa untuk
mengolah hati, mengajak berbela rasa, dan memupuk empati siswa. Semua
karena tuntutan lulus ujian nasional. Konsep pendidikan yang hanya
berfokus pada aspek akademis intelektual jelas mengingkari hakikat
pendidikan.
Dalam waktu lama ke depan, sulit rasanya menemukan pengganti Affandi
sang maestro pelukis, atau Rudy Hartono sang maestro bulu tangkis.
Sekolah Hati
Bagaimana dengan sekolah dan guru? Sebagai pelaksana berbagai
regulasi pendidikan di lapangan, sekolah dan guru seperti tak memiliki
daya tawar dan otonomi. Akhirnya sekolah dikelola dengan gaya manajemen
pabrik, yang mendewakan ukuran-ukuran kuantitatif.
Persentase kelulusan, standar level yang dicapai, jumlah juara
olimpiade sains, jumlah piala yang diraih dalam lomba, akhirnya menjadi
indikator keberhasilan sekolah. Pengelola sekolah dan guru lupa bahwa
pendidikan adalah proses, bukan berorientasi pada hasil dengan segala
indikatornya. Proses belajar berbela rasa, belajar peduli, belajar
berempati menjadi terlupakan.
Sebagian orang tua pun akhirnya terjerembab dalam kubangan sama.
Mereka berlomba-lomba mendorong anak mengikuti les, demi mengejar
prestasi akademik. Perhatian dan waktu untuk mengajari anak berempati,
berbela rasa, dan merefleksikan hidup menjadi hal yang tidak sempat
dilakukan. Peringkat berapa, berapa rata-rata nilai ujian nasionalnya,
di mana lesnya, adalah pertanyaan yang selalu muncul di antara para
orang tua ketika membicarakan anak.
Pemerintah dan sekolah mutlak harus memfasilitasi proses belajar
secara utuh. Mengembangkan intelegensi, berbagai potensi, dan sekolah
hati. Dalam proses itu, tentu saja diperlukan desain kurikulum yang
tidak hanya berfokus pada aspek akademis.
Dalam proses perumusan konsep diri, siswa juga memerlukan pemandu dan
pembimbing. Guru dan orang tua harus mengisi peran itu secara
sinergis. Demikian juga dengan masyarakat, seharusnya bisa menjadi ajang
efektif bagi siswa untuk bersekolah hati. Hanya dengan sekolah hati,
tawuran demi tawuran itu tidak akan terjadi lagi. (